Kota semarang merupakan salah satu kota yang memiliki berbagai jajaran bangunan tua yang mempunyai nilai sejarah. Jajaran bangunan tua tersebut rata-rata berada di kawasan kota yang terletak di semarang bagian timur, dan biasa di sebut “kota lama”. Gereja Blenduk, bangunan yang sekarang menjadi kantor Pos, stasiun Tawang, waduk Tawang, lawang sewu dan pasar Johar sebagian kecil contoh bangunan tua yang masih berdiri.
Apabila ditinjau secara langsung di lapangan, kawasan ini telah mengalami beberapa perubahan. Contoh sederhananya pada bangunan pasar johar. Banyak dinding bangunan yang telah mengalami kerusakan, seperti lapuknya kayu penyangga, lunturnya cat tembok, kebocoran pada titik tertentu atap bangunan, dan kerusakan lantai bangunan. Sungai yang menghulu ke laut yang berada di dekat pasar johar pada jaman dahulu masih dapat di gunakan sebagai jalur transportasi lokal, namun sekarang sungai tersebut sama sekali tidak dapat di pergunakan. Bahkan tidak layak untuk menjadi suplai air bersih. Waduk di depan stasiun tawang juga kini makin memprihatinkan. Seiring bertambahnya tahun, volume luapan air laut yang makin meningkat membuat waduk tersebut tak kuat menampung air laut, sehingga jika musim hujan datang pasti akan terjadi banjir air laut / rob.
Kita tidak bisa menyalahkan siapa pun atas kerusakan yang terjadi pada beberapa bangunan kota tua ini. Kemungkinan kerusakan tersebut timbul karena faktor alam. Misalkan saja faktor hujan. Air hujan yang mengguyur bangunan tersebut akan mengakibatkan pelapukan kayu, melembabnya dinding yang akhirnya akan membuat cat tembok mengelupas, dll. Wajar saja apabila bangunan tua yang telah berumur ratusan tahun tersebut rusak.
Namun kerusakan bangunan ini sangat di sayangkan. Citra bangunan yang semula terkenal bangunan sejarah kini lebih di kenal bangunan kuno yang hampir hilang tenggelam di makan perubahan jaman. Padahal apabila bangunan tersebut di lindungi dan di lestarikan, kemungkinan terjadinya kerusakan dapat di minimalisir.
Kota Semarang harus kembali kepada jati dirinya dengan merunut kembali sejarah panjang Kota Semarang. Hanya dengan menghargai sejarah, sebuah kota akan mampu melestarikan peninggalan bernilai tinggi dan mewujudkan sebuah kota yang humanis yang memiliki berbagai bangunan tua yang masih utuh dan nantinya dapat menjadi landmark kota Semarang.
Pengajar Fakultas Arsitektur Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Kriswandhono mengatakan hal tersebut dalam seminar Pelestarian Kawasan Kota Lama Tawang di Kota Semarang, Senin (26/4). Kriswandhono menyoroti bagaimana selama ini Pemerintah Kota Semarang cenderung mengabaikan persoalan budaya sehingga arah pengembangan kota menjadi tidak jelas.
Menurut kriswandhono, Kota Semarang dahulu terdiri dari beberapa kawasan yang semuanya berkaitan. Misalnya, kawasan benteng de Vijfhoek (kawasan kota Lama), pecinan, Kanjengan dan Kampung melayu. Sumber budaya dan sumber identitas warga Semarang itu dapat dijadikan fondasi yang kokoh untuk pembangunan kota.
Arsitek perencana kota dan wilayah, Widya Wijayanti, mengatakan hal serupa. Ungkapnya, Wilayah-wilayah yang tergabung dalam satu kawasan, yaitu kawasan Kota Lama, dahulu saling terhubung satu sama lain. Antara Kanjengan dan Pecinan, misalnya, diikat oleh keberadaan Pasar Johar. Dan menurut Widya, pengembangan masa kini dan mendatang tidak dapat mengabaikan hubungan-hubungan yang sudah terbangun dan masih bertahan tersebut.
"Selama ini pengembangan yang dilakukan Pemkot Semarang hanya dilakukan secara parsial dan cenderung menghambur-hamburkan uang, tetapi tidak menyentuh akar permasalahannya. Pemerintah harus memikirkan pemanfaatan kembali bangunan, tidak hanya pembangunan fisik. Dengan begitu, ada kehidupan di Kota Lama," ujarnya.
Dukungan pemerintah pun masih sangat minim. Hal ini tampak dari masyarakat yang secara mandiri mengelola bangunan tua di Kawasan Kota Lama. Pengelola bangunan Gereja Blenduk di kawasan Benteng de Vijfhoek, Pendeta GPIB Imanuel, RW Marthin mengatakan, biaya pengelolaan gereja berasal dari jemaat. Padahal pelestarian bangunan bersejarah menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah sepatutnya membuat sebuah anggaran khusus untuk pelestarian bangunan bersejarah. Anggaran pelestarian ini termasuk upaya renovasi bangunan dan perawatan bangunan setelah di renovasi.
"Untuk menutup biaya perawatan sebesar minimal Rp 130 juta per tahun, kami mengadakan iuran bagi jemaat per bulan dengan besaran Rp 500-Rp 10.000 sesuai kerelaan," kata Marthin.
Kepala Subdit Perlindungan Direktorat Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Saiful Mujahir mengatakan, pengembangan Kawasan Kota Lama membutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah. Komitmen kuat ini dengan maksud memiliki tujuan yang pasti akan dilaksanakannya rencana pembangunan, cara pengelolaaan bangunan yang nantinya telah di renovasi, dan ketersediaan anggaran / biaya untuk melakukan rencana tersebut.
RENCANA PEMBANGUNAN KOTA TUA